Wednesday, September 3, 2014

Aku Abu-Abu (Cerpen oleh Keisha Ramadhanesta)


           Hidup ini memang menyedihkan. Mungkin tidak bagi beberapa orang, tapi ya, bagiku hidup ini menyedihkan. Jika aku harus menjelaskan apa itu warna kepada seorang tunanetra, dan harus juga ku jelaskan apa sebuah aura dengan warna, dengan mudah akan kujelaskan padanya. Setiap hal yang kurasakan selalu berwarna, entah senang atau sedih, selalu ada warna di dalamnya.
            Secarik kertas dan sebuah pulpen telah kuletakkan dihadapanku. Sengaja kumatikan lampu kamarku dengan lampu kecil di samping tempat tidur, aku lebih suka dengan cahaya yang remang. Cahaya terang membuat hatiku sakit. Cahaya terang membuatku merindukan betapa indahnya kegelapan. Namun, tidak pernah ku dambakan keterangan saat ku berada di gelapnya ruangan ataupun malam. Kegelapan membuatku tenang.
            “Buka pintunya, Olivia,” Teriak Thomas dari luar kamarku. Untung saja aku ingat untuk menguncinya. Ku mulai menggoreskan pulpen di atas kertas. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya, jika tidak, aku tidak tahu kapan aku bisa menyelesaikannya.
           
            “Dear Edgar,
            aku tahu betapa menyedihkannya aku untuk menulis surat ini. Jujur, aku malu. Tidak sepatutnya aku menulis surat ini, tapi apa daya. Hatiku teriris jika aku harus menemuimu.”
           
            Langkah kaki Thomas terasa menjauh. Ku hela nafasku dan kupenjamkan mataku. Aku merasa tenang.
           
            “Aku merasa abu-abu, aku tahu kamu mengerti maksudku. Saat ini semua berakhir, aku ingin kau mengerti bahwa apa yang kulakukan tidak ada kaitannya denganmu. Dengan singkat, kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Ini memang sudah keputusanku. Tekadku sudah bulat.
            Edgar, aku memang tidak pandai merangkai kata. Aku memang bukanlah seorang romantis sepertimu. Aku tidak dapat memberimu setangkai bunga tanpa menyakiti diriku sendiri, apalagi memberimu karangan bunga. Kau adalah pemimpin diantara kita, dan aku sadar diri bahwa aku hanya pengikutmu, dan aku tidak keberatan.”

            Air mata mengalir di pipiku, dan menyentuh kertas yang ada di hadapanku. Aku berjalan ke meja dan ku buka kotak yang telah kusimpan. Terdapat foto-foto Edgar dan aku. Aku terlihat bahagia. Tidak pernah terpikirkan oleh diriku betapa senangnya aku saat itu. Edgar pun terlihat sangat bahagia, dan memang, aku tidak pernah melihatnya bersedih.
            Edgar memang mencoba untuk selalu tegar di hadapanku. Dia tidak pernah membiarkan ku melihatnya murung. Aku selalu merasa bersalah. Akulah yang selalu membutuhkannya. Akulah yang selalu dia hibur, dan tidak pernah sebaliknya. Aku merasa bersalah karena aku membiarkan ia melihatku menangis. Betapa memalukannya aku.
            Secarik kertas coklat muncul di pandanganku. Aku ingat surat itu. Surat bersejarah sepanjang hidupku.

            “Kau tahu, saat ini aku sedang membaca kembali surat yang waktu itu kau berikan padaku. Ya, surat yang kau berikan saat teman-temanmu mencomoohku. Aku merasa malu dan geli melihat surat itu. Dan ya, saat ini aku tersenyum. Maafkan aku kau harus melihat itu semua. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu melihatku menangis. Tidak pernah terbesit dibenakku untuk membiarkanmu melihatku menangis. Sekali lagi maafkan aku.”
           
            Thomas sedang keluar rumah dengan mobilnya. Mungkin untuk membeli minuman keras, untuk yang kesekian kalinya. Aku berjalan ke kaca yang berada di samping pintu. Mataku yang lebam, bibirku yang pucat, rambutku yang lusuh, dan yang bisa kulihat dari badanku adalah tulang. Thomas memang ayah tiriku, namun tidak akan sudi batinku jika aku harus memanggilnya ayah. Jiwa dan raganya tidaklah pantas untuk menjadi ayahku.
            Aku sangat jijik melihat seluruh badanku. Memar-memar yang Thomas buat membuatku lemah. Ungu kehitaman menghiasi tubuhku. Aku memang tidak berdaya.

            “Aku selalu bertanya mengapa kau menyukaiku. Aku pun heran mengapa kau mau memandangku. Jikalau seseorang melihatku dengan cara kau melihatku, aku yakin mereka akan lari terbirit-birit. Aku heran mengapa jemarimu masih mau menggores cacatku. Tidak pernah terbayang olehku mengapa kau membiarkan kulitmu yang suci itu menyentuh cacatku.”

            Kotak ini memang menyimpan semua sejarahku. Saat-saat bersama Edgar, kepedihanku, kesenanganku, kemirisanku. Aku melihat kertas lainnya, kertas putih yang membuat hatiku teriris. Amanda. Dia yang memberiku kertas laknat ini. Dia memang senang melihatku sengsara, mungkin itu hobinya. Aku adalah hiburan baginya. Aku yang membuatnya senang.
            Setiap hari kulewati dengan gelar tawanya, tapi aku tidak tertawa bersamanya, akulah yang dia tertawakan.
            “Hey, Olivia,” katanya. “Ku lihat harga dirimu terjatuh. Lebih baik kau ambil secepatnya.” Teman-temannya pun tertawa. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan berjalan secepatnya.
            Surat yang dia berikan kepadaku akan selalu kuingat, mungkin satu-satunya yang akan paling kuingat. Bagaimana tidak, orang-orang akan selalu ingat apa yang dia tulis di surat itu. Mereka tidak akan melupakannya, dan mereka tidak akan membiarkanku melupakannya.
            Saat itu pula Edgar pertama kali melihatku menangis. Dia memelukku erat, namun tidak kencang, seakan dia takut dia akan menghancurkanku dan memecahku menjadi kepingan layaknya gelas. Dia memelukku layaknya aku barang berharga. Aku membalas pelukkannya seerat mungkin.
            “Tidak baik jika kau menangis karenanya,” ujar Edgar.
            “Kau tidak merasakan apa yang kurasakan.”
            “Melihatmu menangis membuatku mual, sakit, dan ingin menangis secara bersamaan,” ujarnya. Dia menyunggingkan senyum handalannya. Tidak bisa kupungkiri betapa tampannya dia, dan aku pun tersenyum.

            “Jika ada orang yang bisa kusalahkan, hanya akulah yang pantas. Thomas pun tidak pantas ku salahkan, begitu pun Amanda. Kau tahu betapa terkutuknya mereka dihadapanku, namun balas dendam bukanlah yang terbaik. Aku pun sadar betapa bencinya dirimu kepada mereka. Kau membenci semua yang menyakitiku.
            Aku harap kau tidak akan pernah membenci dirimu sendiri. Kau tidak berhak untuk itu, tidak ada yang berhak untuk membenci dirinya sendiri, termasuk aku. Tapi apa daya, tidak ada yang bisa kucintai dari diriku sendiri. Hanya kaulah bagian dariku yang kucintai sepenuhnya.
            Memang tidak pantas untuk kita berdua untuk saling menyayangi. Tidak adil bagimu dan egois bagiku. Aku dapat memilikimu, dan kau hanya bisa memilikiku. Memang hidup ini tidak adil.”

            Aneh. Mengapa aku bisa mendengar burung berkicau di malam hari? Kulihat keluar jendela kamarku, dua burung merpati bersandar di jendela. Aku merasa abu-abu, perasaanku campur aduk. Namun aku tahu bahwa aku gelisah dan tenang. Aku memang selalu abu-abu.

            “Ingatkah kau saat kali pertama kau mendeskripsikan aku? Ya, aku abu-abu. Sejak itu aku sadar bahwa aku memang abu-abu. Kau bilang, seluruh tubuhku abu-abu. Namun kau tidak pernah menganggapku hitam, dan itu membuatku bertanya.
            Bagiku, kau setiap warna, tetapi tidak pernah hitam, dan aku tidak bisa membayangkanmu menjadi abu-abu sepertiku. Mungkin hanya aku yang bisa menjadi abu-abu. Jujur, sampai saat ini aku kurang mengerti maksudmu dengan abu-abu. Tapi anehnya, aku bisa merasakan abu-abu di diriku.
            Kau mendeskripsikan Thomas sebagai merah kelam, bagaikan api yang tidak pernah padam, layaknya neraka. Bagaimana kau bisa menyamakannya dengan neraka, jika kau tidak pernah melihat dengan mata kepalamu sendiri apa itu neraka. Itu membuatku geli.
            Kau mendeskripsikan Amanda sebagai kuning. Kau bilang biru dan putih tidak cocok untuknya, karena dia hanya bisa tenang saat musim panas, warna yang cocok untuk kuning.”

            Aku duduk di samping tempat tidurku, di temani oleh lampu remang-remang yang setia menemaniku. Kotak yang berisi kenanganku pun dengan rela menemaniku. Ku buka lagi kotak kenanganku, begitu banyak momen yang kubuat bersama Edgar. Tidak satupun foto itu menggambarkan ku sebagai seseorang yang menyendiri di kamarnya, yang menuliskan surat untuk kekasihnya, yang sedang menjadi abu-abu.
            Tawa dan senyum Edgar membuatku tersenyum, dan untuk sesaat, membuatku berpikir dua kali atas keputusanku. Tapi lagi, keputusanku sudah bulat.
            Cepat atau lambat, semua ini akan berakhir, dengan apapun caranya. Thomas akan kembali tidak lama lagi, dan aku tidak mau suara menjengkelkan darinya menggangguku. Aku sudah siap, tapi aku belum menyelesaikan suratku. Aku tidak bisa menyelesaikan ini semua jika surat ini belum sepenuhnya selesai.

            Aku ingat saat Amanda mencomoohku. Aku harap kau tidak keberatan jika aku membawa-bawa namanya, karena aku benar-benar ingin membicarakannya. Aku ingat bagaimana matanya menatapku dengan begitu jijik. Saat itu, aku tidak menyadari mengapa dia begitu membenciku. Tidak sampai dia menyentuhmu, tidak sampai aku melihat cara dia melihatmu, dan saat itu aku sadar.
            Dia membenciku karena aku dapat memilikimu. Aku sadar bahwa dia membenciku karena dia harus melihat dirimu bersamaku, dan aku tahu bagaimana perasaanya.
            Itu sakit, saat melihat orang yang benar-benar kau cintai sepenuh hati, mencintai orang lain. Aku memang membencinya dan dia membenciku. Aku membencinya karena dia selalu menggangguku, dan dia membenciku karena aku memilikimu.
            Hidup ini memang membingungkan. Ralat, hidupku membingungkan, hidupmu tidak.”

            Suara pintu dibanting membuatku terkejut. Thomas kembali. Aku terdiam dan mencoba mendengar apa yang sedang ia lakukan. Katakan aku pengecut, tapi aku tidak akan mau menatap matanya walaupun kau membayarku dengan seluruh isi dunia. Aku lebih memilih menghindarinya sesering mungkin.
            “Olivia, sebaiknya kau tidak keluar dari kamar terkutukmu itu. Aku tidak mau teman-temanku melihat betapa menjijikannya kau,” katanya pelan dari luar pintu kamarku.
            Langkah kakinya terdengar meninggalkan kamarku. Aku menghela nafas yang telah aku tahan. Aku tidak tahan mendengar suaranya, aku harap Edgar disini.

            “Aku ingin kau memaafkan Thomas, dengan berat hati aku berkata. Mungkin kau merasa dia tidak pantas mendapat permohonan maaf, tapi sebagai manusia kita harus bisa saling memaafkan. Tuhan akan memaafkan segala kesalahanmu, apa hakmu untuk tidak memaafkannya? Dan saat ini, aku sudah memaafkannya, tapi aku tidak akan pernah bisa mengurangi rasa kesalku.
            Terkadang, aku masih bisa melihat bekas luka yang ada di kepalamu. Sampai saat ini, aku masih merasa bersalah atas luka itu. Jika bukan karenaku, kau tidak akan mendapat luka itu. Tapi tenang saja, luka itu tidak mengurangi ketampananmu.
            Akupun masih bisa melihat luka-luka yang ia buat. Luka-luka ini akan selamanya menjadi bagian dari hidupku. Berbeda dengan luka di tubuhku, luka yang ada di kepalamu membuatku mempunyai alasan untuk membelai rambutmu. Maafkan aku karena aku berbohong padamu. Aku hanya ingin merasakan rambutmu, bukan karena aku ingin melihat lukamu.
            Aku abu-abu, dan aku benar-benar ingin tahu apa yang kau lihat saat semua ini berakhir. Apakah aku tetap abu-abu? Atau mungkinkah aku menjadi putih? Atau aku menjadi hitam?
            Kau tahu, aku suka menjadi abu-abu. Aku merasa abu-abu adalah warna yang netral. Aku bisa menjadi apapun tanpa harus mengubah warnaku. Aku bisa merasakan apapun tanpa harus terlihat berbeda. Mungkin karena itu aku pandai menyembunyikan perasaanku, karena aku abu-abu.”

            Angan-anganku tentangnya membuatku merasa sangat kesepian. Aku merindukan sentuhannya, aromanya, kelembutannya, kesetiannya dan semua darinya. Dia adalah putih. Aku adalah abu-abu. Aku tidak pernah mempelajari tentang warna, maka itu aku tidak tahu apa jadinya jika putih dicampur dengan abu-abu. Mungkin menjadi terang, dan bisa saja menjadi gelap, tapi aku berharap menjadi sesuatu ditengah itu.
            Sulit rasanya aku melepaskan semua ini, namun berat rasanya jika tidak. Edgar selalu berkata padaku, lakukan apa yang membuatku senang. Dan ya, ini akan membuatku senang. Ini akan membuatku tenang.
           
            “Aku ingin kau memaafkan semua orang yang pernah menyakitiku, karena aku tahu betapa kau membenci mereka. Aku memaafkan mereka, dan tidak ada hak bagimu untuk tidak memaafkan mereka.
            Satu hal yang aku tidak ingin kau lakukan, yaitu menjadi sepertiku.
            Aku selalu merasa aku adalah orang paling hina di dunia ini, tapi kau datang. Kau memberiku cahaya yang selama ini aku dambakan. Kau memberika cahaya pada hatiku yang gelap. Memang cahaya itu tidak sepenuhnya menerangkan hatiku maupun jiwaku, tapi aku suka remang.
            Aku senang telah menjadi abu-abu di kehidupanmu. Dan kau perlu tahu, kau bukanlah satu warna, kau berbagai warna yang aku dambakan. Kau berbagai warna yang aku impikan.
            Maafkan aku karena aku tidak pernah sempat memberitahu warna apakah kau, dan aku tidak ingin pergi sebelum kau mengetahui warna-warna dalam dirimu.”

            Nafasku menjadi susah.

            “Kau biru, karena kau membuatku senang melihat keatas. Kau biru, bagaikan langit cerah di musim panas. Kau biru, karena kau membuatku senang untuk menjalani hari. Kau biru, karena kau membuatku merasa nyaman, walaupun pancaran cahayamu membuat orang lain susah untuk melihat keluar.”

            Aku merasa tidak kuat.

            “Kau merah, karena kau berani. Kau berani menyayangi aku yang rusak, aku yang kusam. Kau merah, karena kau seperti api di malam gelap di tengah kelamnya hutan.”

            Satu untuk cinta.
           
            “Kau kuning, karena kau menerangiku. Aku bagaikan goa yang penuh dengan siksaan dan dosa, dan kau bagaikan ribuan kunang-kunang kecil yang rela menerangi dan memberi jalan pulang untuk harapan.”

            Dua untuknya.

            “Kau putih, karena kesucianmu memberikan cintamu padaku.”

            Tiga untukku.

            “Namun, kau tidaklah hitam, ataupun abu-abu. Karena aku abu-abu. Kau tidak pernah hitam, karena kau tidak pernah menjadi kegelapan di hidupku. Kau berbagai warna, namun bukan hitam. Aku harap kau tidak akan menjadi hitam. Aku harap kau selalu terang. Aku harap kau tidak kelam. Aku harap kau tidak sepertiku.
            Bagiku, bernafas saja susah, dan kau... kau dapat menyayangiku. Aku iri padamu, menyayangi tampak mudah bagimu. Dan kau tahu betapa susahnya aku untuk percaya kepadamu dulu, dan aku heran mengapa kau begitu sabar untuk menunggu.
            Aku akan selalu senang menjadi abu-abu, karenamu. Abu-abu adalah aku, dan aku sadar akan itu. Aku senang menjadi abu-abu untukmu.
            Tidak pernah kusangka betapa indahnya warna sebelum kau datang.
            Tidak pernah kusangka menjadi abu-abu adalah sesuatu yang spesial.
            Tidak pernah kusangka menjadi aku, Olivia, perempuan yang kusam, kelam, rusak, bisa memilikimu.
            Aku menyesali semua hal yang pernah aku lakukan. Namun satu hal yang tidak akan kusesali, yaitu menyayangimu.”

            Hal yang aku sangat aku inginkan sekarang, saat semua berakhir, hal terakhir yang aku lihat adalah abu-abu.
            Dan ya, aku melihat abu-abu.

            Karena abu-abu adalah aku.
 photo signature2_zpsigqsyofg.png

No comments:

Post a Comment