Hidup
ini memang menyedihkan. Mungkin tidak bagi beberapa orang, tapi ya, bagiku
hidup ini menyedihkan. Jika aku harus menjelaskan apa itu warna kepada seorang
tunanetra, dan harus juga ku jelaskan apa sebuah aura dengan warna, dengan
mudah akan kujelaskan padanya. Setiap hal yang kurasakan selalu berwarna, entah
senang atau sedih, selalu ada warna di dalamnya.
Secarik
kertas dan sebuah pulpen telah kuletakkan dihadapanku. Sengaja kumatikan lampu
kamarku dengan lampu kecil di samping tempat tidur, aku lebih suka dengan
cahaya yang remang. Cahaya terang membuat hatiku sakit. Cahaya terang membuatku
merindukan betapa indahnya kegelapan. Namun, tidak pernah ku dambakan
keterangan saat ku berada di gelapnya ruangan ataupun malam. Kegelapan
membuatku tenang.
“Buka
pintunya, Olivia,” Teriak Thomas dari luar kamarku. Untung saja aku ingat untuk
menguncinya. Ku mulai menggoreskan pulpen di atas kertas. Aku harus
menyelesaikan ini secepatnya, jika tidak, aku tidak tahu kapan aku bisa
menyelesaikannya.
“Dear Edgar,
aku tahu betapa menyedihkannya aku untuk menulis surat
ini. Jujur, aku malu. Tidak sepatutnya aku menulis surat ini, tapi apa daya.
Hatiku teriris jika aku harus menemuimu.”
Langkah
kaki Thomas terasa menjauh. Ku hela nafasku dan kupenjamkan mataku. Aku merasa
tenang.
“Aku merasa abu-abu, aku tahu kamu mengerti
maksudku. Saat ini semua berakhir, aku ingin kau mengerti bahwa apa yang
kulakukan tidak ada kaitannya denganmu. Dengan singkat, kamu tidak melakukan
kesalahan apapun. Ini memang sudah keputusanku. Tekadku sudah bulat.
Edgar, aku memang tidak pandai merangkai kata. Aku memang
bukanlah seorang romantis sepertimu. Aku tidak dapat memberimu setangkai bunga
tanpa menyakiti diriku sendiri, apalagi memberimu karangan bunga. Kau adalah
pemimpin diantara kita, dan aku sadar diri bahwa aku hanya pengikutmu, dan aku
tidak keberatan.”
Air mata
mengalir di pipiku, dan menyentuh kertas yang ada di hadapanku. Aku berjalan ke
meja dan ku buka kotak yang telah kusimpan. Terdapat foto-foto Edgar dan aku.
Aku terlihat bahagia. Tidak pernah terpikirkan oleh diriku betapa senangnya aku
saat itu. Edgar pun terlihat sangat bahagia, dan memang, aku tidak pernah
melihatnya bersedih.
Edgar
memang mencoba untuk selalu tegar di hadapanku. Dia tidak pernah membiarkan ku
melihatnya murung. Aku selalu merasa bersalah. Akulah yang selalu
membutuhkannya. Akulah yang selalu dia hibur, dan tidak pernah sebaliknya. Aku
merasa bersalah karena aku membiarkan ia melihatku menangis. Betapa
memalukannya aku.
Secarik
kertas coklat muncul di pandanganku. Aku ingat surat itu. Surat bersejarah
sepanjang hidupku.
“Kau tahu, saat ini aku sedang membaca
kembali surat yang waktu itu kau berikan padaku. Ya, surat yang kau berikan saat
teman-temanmu mencomoohku. Aku merasa malu dan geli melihat surat itu. Dan ya,
saat ini aku tersenyum. Maafkan aku kau harus melihat itu semua. Aku tidak
pernah bermaksud membuatmu melihatku menangis. Tidak pernah terbesit dibenakku
untuk membiarkanmu melihatku menangis. Sekali lagi maafkan aku.”
Thomas
sedang keluar rumah dengan mobilnya. Mungkin untuk membeli minuman keras, untuk
yang kesekian kalinya. Aku berjalan ke kaca yang berada di samping pintu. Mataku
yang lebam, bibirku yang pucat, rambutku yang lusuh, dan yang bisa kulihat dari
badanku adalah tulang. Thomas memang ayah tiriku, namun tidak akan sudi batinku
jika aku harus memanggilnya ayah. Jiwa dan raganya tidaklah pantas untuk
menjadi ayahku.
Aku
sangat jijik melihat seluruh badanku. Memar-memar yang Thomas buat membuatku
lemah. Ungu kehitaman menghiasi tubuhku. Aku memang tidak berdaya.
“Aku selalu bertanya mengapa kau menyukaiku.
Aku pun heran mengapa kau mau memandangku. Jikalau seseorang melihatku dengan
cara kau melihatku, aku yakin mereka akan lari terbirit-birit. Aku heran
mengapa jemarimu masih mau menggores cacatku. Tidak pernah terbayang olehku
mengapa kau membiarkan kulitmu yang suci itu menyentuh cacatku.”
Kotak
ini memang menyimpan semua sejarahku. Saat-saat bersama Edgar, kepedihanku,
kesenanganku, kemirisanku. Aku melihat kertas lainnya, kertas putih yang
membuat hatiku teriris. Amanda. Dia yang memberiku kertas laknat ini. Dia
memang senang melihatku sengsara, mungkin itu hobinya. Aku adalah hiburan
baginya. Aku yang membuatnya senang.
Setiap
hari kulewati dengan gelar tawanya, tapi aku tidak tertawa bersamanya, akulah
yang dia tertawakan.
“Hey,
Olivia,” katanya. “Ku lihat harga dirimu terjatuh. Lebih baik kau ambil
secepatnya.” Teman-temannya pun tertawa. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku
dan berjalan secepatnya.
Surat
yang dia berikan kepadaku akan selalu kuingat, mungkin satu-satunya yang akan
paling kuingat. Bagaimana tidak, orang-orang akan selalu ingat apa yang dia
tulis di surat itu. Mereka tidak akan melupakannya, dan mereka tidak akan
membiarkanku melupakannya.
Saat itu
pula Edgar pertama kali melihatku menangis. Dia memelukku erat, namun tidak
kencang, seakan dia takut dia akan menghancurkanku dan memecahku menjadi
kepingan layaknya gelas. Dia memelukku layaknya aku barang berharga. Aku
membalas pelukkannya seerat mungkin.
“Tidak
baik jika kau menangis karenanya,” ujar Edgar.
“Kau
tidak merasakan apa yang kurasakan.”
“Melihatmu
menangis membuatku mual, sakit, dan ingin menangis secara bersamaan,” ujarnya.
Dia menyunggingkan senyum handalannya. Tidak bisa kupungkiri betapa tampannya
dia, dan aku pun tersenyum.
“Jika ada orang yang bisa kusalahkan, hanya
akulah yang pantas. Thomas pun tidak pantas ku salahkan, begitu pun Amanda. Kau
tahu betapa terkutuknya mereka dihadapanku, namun balas dendam bukanlah yang
terbaik. Aku pun sadar betapa bencinya dirimu kepada mereka. Kau membenci semua
yang menyakitiku.
Aku harap kau tidak akan pernah membenci dirimu sendiri.
Kau tidak berhak untuk itu, tidak ada yang berhak untuk membenci dirinya
sendiri, termasuk aku. Tapi apa daya, tidak ada yang bisa kucintai dari diriku
sendiri. Hanya kaulah bagian dariku yang kucintai sepenuhnya.
Memang tidak pantas untuk kita berdua untuk saling
menyayangi. Tidak adil bagimu dan egois bagiku. Aku dapat memilikimu, dan kau
hanya bisa memilikiku. Memang hidup ini tidak adil.”
Aneh.
Mengapa aku bisa mendengar burung berkicau di malam hari? Kulihat keluar
jendela kamarku, dua burung merpati bersandar di jendela. Aku merasa abu-abu,
perasaanku campur aduk. Namun aku tahu bahwa aku gelisah dan tenang. Aku memang
selalu abu-abu.
“Ingatkah kau saat kali pertama kau
mendeskripsikan aku? Ya, aku abu-abu. Sejak itu aku sadar bahwa aku memang
abu-abu. Kau bilang, seluruh tubuhku abu-abu. Namun kau tidak pernah
menganggapku hitam, dan itu membuatku bertanya.
Bagiku, kau setiap warna, tetapi tidak pernah hitam, dan
aku tidak bisa membayangkanmu menjadi abu-abu sepertiku. Mungkin hanya aku yang
bisa menjadi abu-abu. Jujur, sampai saat ini aku kurang mengerti maksudmu
dengan abu-abu. Tapi anehnya, aku bisa merasakan abu-abu di diriku.
Kau mendeskripsikan Thomas sebagai merah kelam, bagaikan
api yang tidak pernah padam, layaknya neraka. Bagaimana kau bisa menyamakannya
dengan neraka, jika kau tidak pernah melihat dengan mata kepalamu sendiri apa
itu neraka. Itu membuatku geli.
Kau mendeskripsikan Amanda sebagai kuning. Kau bilang
biru dan putih tidak cocok untuknya, karena dia hanya bisa tenang saat musim
panas, warna yang cocok untuk kuning.”
Aku
duduk di samping tempat tidurku, di temani oleh lampu remang-remang yang setia
menemaniku. Kotak yang berisi kenanganku pun dengan rela menemaniku. Ku buka
lagi kotak kenanganku, begitu banyak momen yang kubuat bersama Edgar. Tidak
satupun foto itu menggambarkan ku sebagai seseorang yang menyendiri di
kamarnya, yang menuliskan surat untuk kekasihnya, yang sedang menjadi abu-abu.
Tawa dan
senyum Edgar membuatku tersenyum, dan untuk sesaat, membuatku berpikir dua kali
atas keputusanku. Tapi lagi, keputusanku sudah bulat.
Cepat
atau lambat, semua ini akan berakhir, dengan apapun caranya. Thomas akan
kembali tidak lama lagi, dan aku tidak mau suara menjengkelkan darinya
menggangguku. Aku sudah siap, tapi aku belum menyelesaikan suratku. Aku tidak bisa
menyelesaikan ini semua jika surat ini belum sepenuhnya selesai.
“Aku ingat saat Amanda mencomoohku. Aku harap
kau tidak keberatan jika aku membawa-bawa namanya, karena aku benar-benar ingin
membicarakannya. Aku ingat bagaimana matanya menatapku dengan begitu jijik.
Saat itu, aku tidak menyadari mengapa dia begitu membenciku. Tidak sampai dia
menyentuhmu, tidak sampai aku melihat cara dia melihatmu, dan saat itu aku
sadar.
Dia membenciku karena aku dapat memilikimu. Aku sadar
bahwa dia membenciku karena dia harus melihat dirimu bersamaku, dan aku tahu
bagaimana perasaanya.
Itu sakit, saat melihat orang yang benar-benar kau cintai
sepenuh hati, mencintai orang lain. Aku memang membencinya dan dia membenciku.
Aku membencinya karena dia selalu menggangguku, dan dia membenciku karena aku
memilikimu.
Hidup ini memang membingungkan. Ralat, hidupku
membingungkan, hidupmu tidak.”
Suara
pintu dibanting membuatku terkejut. Thomas kembali. Aku terdiam dan mencoba
mendengar apa yang sedang ia lakukan. Katakan aku pengecut, tapi aku tidak akan
mau menatap matanya walaupun kau membayarku dengan seluruh isi dunia. Aku lebih
memilih menghindarinya sesering mungkin.
“Olivia,
sebaiknya kau tidak keluar dari kamar terkutukmu itu. Aku tidak mau
teman-temanku melihat betapa menjijikannya kau,” katanya pelan dari luar pintu
kamarku.
Langkah
kakinya terdengar meninggalkan kamarku. Aku menghela nafas yang telah aku
tahan. Aku tidak tahan mendengar suaranya, aku harap Edgar disini.
“Aku ingin kau memaafkan Thomas, dengan
berat hati aku berkata. Mungkin kau merasa dia tidak pantas mendapat permohonan
maaf, tapi sebagai manusia kita harus bisa saling memaafkan. Tuhan akan
memaafkan segala kesalahanmu, apa hakmu untuk tidak memaafkannya? Dan saat ini,
aku sudah memaafkannya, tapi aku tidak akan pernah bisa mengurangi rasa
kesalku.
Terkadang, aku masih bisa melihat bekas luka yang ada di
kepalamu. Sampai saat ini, aku masih merasa bersalah atas luka itu. Jika bukan
karenaku, kau tidak akan mendapat luka itu. Tapi tenang saja, luka itu tidak
mengurangi ketampananmu.
Akupun masih bisa melihat luka-luka yang ia buat.
Luka-luka ini akan selamanya menjadi bagian dari hidupku. Berbeda dengan luka
di tubuhku, luka yang ada di kepalamu membuatku mempunyai alasan untuk membelai
rambutmu. Maafkan aku karena aku berbohong padamu. Aku hanya ingin merasakan
rambutmu, bukan karena aku ingin melihat lukamu.
Aku abu-abu, dan aku benar-benar ingin tahu apa yang kau
lihat saat semua ini berakhir. Apakah aku tetap abu-abu? Atau mungkinkah aku menjadi
putih? Atau aku menjadi hitam?
Kau tahu, aku suka menjadi abu-abu. Aku merasa abu-abu
adalah warna yang netral. Aku bisa menjadi apapun tanpa harus mengubah warnaku.
Aku bisa merasakan apapun tanpa harus terlihat berbeda. Mungkin karena itu aku
pandai menyembunyikan perasaanku, karena aku abu-abu.”
Angan-anganku
tentangnya membuatku merasa sangat kesepian. Aku merindukan sentuhannya,
aromanya, kelembutannya, kesetiannya dan semua darinya. Dia adalah putih. Aku
adalah abu-abu. Aku tidak pernah mempelajari tentang warna, maka itu aku tidak
tahu apa jadinya jika putih dicampur dengan abu-abu. Mungkin menjadi terang,
dan bisa saja menjadi gelap, tapi aku berharap menjadi sesuatu ditengah itu.
Sulit
rasanya aku melepaskan semua ini, namun berat rasanya jika tidak. Edgar selalu
berkata padaku, lakukan apa yang membuatku senang. Dan ya, ini akan membuatku
senang. Ini akan membuatku tenang.
“Aku ingin kau memaafkan semua orang yang
pernah menyakitiku, karena aku tahu betapa kau membenci mereka. Aku memaafkan
mereka, dan tidak ada hak bagimu untuk tidak memaafkan mereka.
Satu hal yang aku tidak ingin kau lakukan, yaitu menjadi
sepertiku.
Aku selalu merasa aku adalah orang paling hina di dunia
ini, tapi kau datang. Kau memberiku cahaya yang selama ini aku dambakan. Kau
memberika cahaya pada hatiku yang gelap. Memang cahaya itu tidak sepenuhnya
menerangkan hatiku maupun jiwaku, tapi aku suka remang.
Aku senang telah menjadi abu-abu di kehidupanmu. Dan kau
perlu tahu, kau bukanlah satu warna, kau berbagai warna yang aku dambakan. Kau
berbagai warna yang aku impikan.
Maafkan aku karena aku tidak pernah sempat memberitahu
warna apakah kau, dan aku tidak ingin pergi sebelum kau mengetahui warna-warna
dalam dirimu.”
Nafasku menjadi susah.
“Kau biru, karena kau membuatku senang
melihat keatas. Kau biru, bagaikan langit cerah di musim panas. Kau biru,
karena kau membuatku senang untuk menjalani hari. Kau biru, karena kau
membuatku merasa nyaman, walaupun pancaran cahayamu membuat orang lain susah
untuk melihat keluar.”
Aku
merasa tidak kuat.
“Kau merah, karena kau berani. Kau berani
menyayangi aku yang rusak, aku yang kusam. Kau merah, karena kau seperti api di
malam gelap di tengah kelamnya hutan.”
Satu untuk cinta.
“Kau kuning, karena kau menerangiku. Aku bagaikan goa
yang penuh dengan siksaan dan dosa, dan kau bagaikan ribuan kunang-kunang kecil
yang rela menerangi dan memberi jalan pulang untuk harapan.”
Dua untuknya.
“Kau putih, karena kesucianmu memberikan
cintamu padaku.”
Tiga untukku.
“Namun, kau tidaklah hitam, ataupun abu-abu.
Karena aku abu-abu. Kau tidak pernah hitam, karena kau tidak pernah menjadi
kegelapan di hidupku. Kau berbagai warna, namun bukan hitam. Aku harap kau
tidak akan menjadi hitam. Aku harap kau selalu terang. Aku harap kau tidak
kelam. Aku harap kau tidak sepertiku.
Bagiku, bernafas saja susah, dan kau... kau dapat
menyayangiku. Aku iri padamu, menyayangi tampak mudah bagimu. Dan kau tahu
betapa susahnya aku untuk percaya kepadamu dulu, dan aku heran mengapa kau
begitu sabar untuk menunggu.
Aku akan selalu senang menjadi abu-abu, karenamu. Abu-abu
adalah aku, dan aku sadar akan itu. Aku senang menjadi abu-abu untukmu.
Tidak pernah kusangka betapa indahnya warna sebelum kau
datang.
Tidak pernah kusangka menjadi abu-abu adalah sesuatu yang
spesial.
Tidak pernah kusangka menjadi aku, Olivia, perempuan yang
kusam, kelam, rusak, bisa memilikimu.
Aku menyesali semua hal yang pernah aku lakukan. Namun
satu hal yang tidak akan kusesali, yaitu menyayangimu.”
Hal yang
aku sangat aku inginkan sekarang, saat semua berakhir, hal terakhir yang aku
lihat adalah abu-abu.
Dan ya,
aku melihat abu-abu.
Karena
abu-abu adalah aku.